Fakta pluralisme agama yang terjadi dalam masyarakat menuntut sikap terbuka dan kerelaan berdialog
antar umat beragama, agar menciptakan kehidupan yang aman, damai dan tenteram.
Suatu agama yang menolak keberadaan masyarakat yang pluralis telah menghukum
diri masuk ke dalam isolasi yang kerdil, sebab dengan adanya suatu masyarakat
manusiawi yang menyeluruh, dituntut pula adanya pluralitas tingkat pemikiran,
pilihan etika, kreativitas budaya, dan perspektif kebudayaan (Prof. Ari Roest
Crollus, Kompas, Jumat 5 Maret 1988).
Dialog Antar Umat Beragama Sebagai
Tugas Perutusan Gereja
Konsili Vatikan II dapat dikatakan sebagai titik tolak dari hidup Gereja
yang dialogis. Ini tidak berarti bahwa sebelumnya Gereja sangat tidak dialogis.
Dialog sebagaimana yang dicetuskan oleh Konsili Vatikan II mempunyai akar pada
Tradisi hidup Gereja. Sikap dialogis Gereja sebelum Konsili Vatikan II tampak
dalam kesaksian para Bapa Gereja, para misionaris, dan ajaran para paus masa
lampau yang menunjukkan sikap positif terhadap agama-agama lain. Memang ajaran
yang menunjukkan sikap positif terhadap agama-agama lain itu bersifat sporadis,
tersebar, dan kurang menjadi sikap dasar yang menonjol. Sikap Gereja seringkali
kebalikannya, yakni eklusivisme, triumphalisme,
dan sebagainya. Akibatnya Gereja sebelum Konsili Vatikan II tampak tertutup dan
kurang memandang positif agama-agama.
Angin segar yang ditiupkan oleh Konsili Vatikan II membuat dialog umat
beragama menjadi unsur integral dalam perutusan Gereja. Dalam dokumen-dokumen
Konsili dan post Konsili Vatikan II,
dialog agama menempati posisi penting. Redemptoris Missio 55 menyatakan bahwa dialog antar agama merupakan
bagian dari misi penginjilan Gereja; dialog tidak bertentangan dengan tugas
perutusan Gereja.
Dialog merupakan bentuk tugas perutusan yang otentik. Bersama dengan
pewartaan yang merupakan komuikasi pesan Injil, dialog dengan cara dan
kedudukannya sendiri, menjadi unsur penentu dari kegiatan perutusan Gereja. Dialog
dan pewartaan diarahkan untuk mengkomunikasikan kebenaran yang menyelamatkan
kepada semua orang.
Melihat tempat dialog dalam keseluruhan tugas perutusan Gereja, siapakah
yang berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam dialog? Paus Yohanes Paulus II
(alm.) menegaskan bahwa Gereja Lokal-lah yang pertama-tama harus memiliki komitmen untuk membangun dialog dengan umat
beragama lain di tempatnya masing-masing. Tidak ada Gereja Lokal satu pun yang
dapat menghindarkan diri dari kewajiban ini. Sejauh tanggung jawab dialog ada
pada Gereja Lokal, maka umat beriman sendiri yang harus terlibat dalam dialog
agama-agama
Masa depan dialog agama-agama pertama-tama terletak pada kaum awam. Ini
berarti dibutuhkan barisan imam yang tangguh, yang tahu mendampingi kaum awam
sebagai saudara-saudara seiman, yang ada di tengah-tengah umat sebagai
orang-orang yang sungguh beriman. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang
memiliki amanat perutusan untuk menjalin kerja sama dan berdialog dengan
sesamanya dari agama-agama lain guna meningkatkan kesejahteraan sosial dan
kehidupan masyarakat sekitarnya ( Apostolicam
Actuasitatem 14). Perhatian khusus harus diberikan kepada kaum muda yang
hidup dalam masyarakat yang pluralistis ini.
Bentuk-bentuk Dialog yang Dapat
Dikembangkan
a) Dialog Kehidupan
Dialog ini diperuntukkan bagi semua orang dan merupakan level dialog yang
paling mendasar. Dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat yang plural dialog kehidpan ini sangat dibutuhkan.
Aneka pengalaman, entah suka maupun duka, gembira maupun sedih dialami bersama.
Dalam tingkatan dialog ini manusia dari setiap agama hidup dan bekerja sama,
dan setiap orang memperkaya dirinya dengan pengantaraan mengamati. Dialog
kehidupan memang sudah terlaksana dalam masyarakat Indonesia , seperti silahturahmi
pada hari raya, kerja bakti membersihkan lingkungan, dan sebagainya.
b) Dialog Karya
Yang dimaksudkan dengan dialog karya adalah kerja sama yag lebih intens
dan mendalam dengan penganut-penganut agama lain. Sasaran yang hendak diraih
yakni pembangunan dan peningkatan martabat mausia. Bentuk dialog ini kerap
berlangsung dalam kerangka kerja sama organisasi-organisasi internasional
maupun nasional di mana agama-agama bersama-sama menghadapi masalah dunia. Jadi
pelbagai macam pemeluk agama dapat melaksanakan proyek-proyek pembangunan dalam
meningkatkan kehidupan keluarga dan nilai-nilainya, membantu rakyat dari
kemiskinan, dan proyek-proyek kemanusiaan lainnya. Gereja secara konkret dan
resmi terlibat dalam dialog karya ini. Sekurang-kurangnya ada dua sekretariat
yang pelaksanaan kerjanya meminta kerja sama dengan penganut agama lain. Dua
sekretariat itu adalah; The Pontifical
commission for Justice and Peace dan Dewan
Kepausan Cor Unum. Gereja juga mendesak umatnya untuk mengusahakan dialog
karya, sebuah dialog yang ditumpukkan tidak pada agama melainkan pada kerja
sama dalam kaya-karya.
c) Dialog Pandangan Teologis
Dialog ini dikhususkan bagi para
teolog atau siapa saja yang mempunyai kemampuan untuk itu. Dalam dialog ini
orang diajak menggumuli, memperdalam dan memperkaya warisan-warisan keagamaan
masing-masing. Dialog semacam ini jelas membutuhkan visi yang mantap. Dalam
dialog pandangan teologis tidak boleh ada pretensi, kecuali untuk saling
memahami pandangan teologis masing-masing agama dan penghargaan terhadap
nilai-nilai rohani masing-masing.
d) Dialog Pengalaman Iman
Dialog ini dimaksudkan untuk saling memperkaya dan memajukan penghayatan
nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani masing-masing pribadi. Dalam dialog
ini, pribadi-pribadi yang berakar dalam tradisi keagamaan masing-masing berbagi
pengalaman doa, kontemplasi, dan meditasi, bahkan pengalaman iman dalam arti
yang lebih mendalam.
Tantangan-tantangan dalam Usaha
Membangun Dialog Antar Agama
Melihat bentuk-bentuk dialog sebagaimana disebutkan di atas, dapat kita
ketahui bahwa tidaklah setiap dialog cocok bagi setiap orang atau setiap situasi. Tiap bentuk dialog
mempunyai pelaku, tempat, dan waktunya. Dialog agama adalah suatu hal yang
tidak mudah dijalankan. Dialog selalu mengandaikan adanya keterbukaan dari
tiap-tiap pihak yang berdialog. Dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman akan agama
yang seimbang. Dialog tidak akan
berjalan apabila muncul faktor-faktor sosial politik, dan beban ingatan
traumatis akan konflik sejarah, pemahaman yang salah tentang agama lain, sikap
merasa diri paling sempurna yang memunculkan sikap agresif dan defensif,
permasalahan zaman ini seperti materialisme, sekularisme, sikap acuh tak acuh
terhadap kehidupan beragama, dan munculnya sekte-sekte fundamentalis, juga
sikap tidak toleran yang kerap kali diperparah oleh faktor politik, ekonomi,
ras, etnis, dan aneka kesenjangan lainnya.
Dalam dialog karya terkadang bantuan kemanusiaan dicurigai sebagai bentuk
proseletisme. Dialog kehidupan seperti silahturahmi pada hari raya kadang tidak
berjalan karena adanya golongan agama yang ‘mengharamkan’ kelompok lain yang
tidak seagama. Dalam dialog pengalaman iman harus dihindari sikap yang menjurus
pada sinkretisme, ada pun dialog pandangan teologis hendaknya dilakukan oleh
orang yang ahli. Di dalamnya butuh kesabaran mendengarkan orang lain yang menyampaikan
ajaran agama yang berbeda dengan ajaran
agamanya sendiri.
Penutup
Walaupun terdapat sejumlah tantangan dalam membangun dialog antar agama,
keterlibatan Gereja dalam membangun dialog harus tetap kokoh dan tidak goyah.
Disadari bahwa untuk menciptakan suasana kondusif di tengah masyarakat plural,
dialog merupakan salah satu unsur esensial. Gereja Indonesia telah mencetuskan dirinya
sebagai Gereja Abdi, yang digunakan
Tuhan untuk membangun kerajaanNya. Kerajaan itu dipercaya mulai tumbuh dalam masyrakat,
karenanya Gereja melayani, menyambut baik, mendukung dan ikut terlibat
memajukan dialog yang bertujuan merukunkan kaum beriman. Kendati menyusuri
lorong gelap, Gereja harus berjuang merealisasi perannya sebagai tanda dan
sarana keselamatan bagi semua dengan terus berusaha menjalin dialog membangun
Kerajaan Allah. Sebuah panggilan yang mendesak dilaksanakan, meskipun tidak
gampang.
Kepustakaan
Riyanto, Armada, F.X.E., Dialog
Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta :
Kanisius, 1995
Hariprabowo, Jacobus, Teologi
Agama-agama dan Ekumenisme,
Pematangsiantar:STFT, 2007.
Sairin, Weinata, Pdt., Mth., Raintung, F.W.Pdt., Hanganji, H.,H., Dialog Antar Umat Beragama; Membangun
Pilar-Pilar Keindonesiaan yang Kokoh, Jakarta :
BPK Gunung Mulia, 1994.
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari Kampus Santa Maria dalam rangka memperingati bulan bahasa. Tulisan ini adalah refleksi keprihatinan saya atas situasi bangsa Indonesia saat ini